Sumber : http://www.subang.go.id/sejarah.php
Bukti adanya kelompok masyarakat pada masa prasejarah di wilayah
Kabupaten Subang adalah ditemukannya kapak batu di daerah Bojongkeding
(Binong), Pagaden, Kalijati dan Dayeuhkolot (Sagalaherang). Temuan
benda-benda prasejarah bercorak neolitikum ini menandakan bahwa saat
itu di wilayah Kabupaten Subang sekarang sudah ada kelompok masyarakat
yang hidup dari sektor pertanian dengan pola sangat sederhana.
Selain itu, dalam periode prasejarah juga berkembang pula
pola kebudayaan perunggu yang ditandai dengan penemuan situs di Kampung
Engkel, Sagalaherang.
Hindu
Pada saat berkembangnya corak kebudayaan Hindu, wilayah
Kabupaten Subang menjadi bagian dari 3 kerajaan, yakni Tarumanagara,
Galuh, dan Pajajaran. Selama berkuasanya 3 kerajaan tersebut, dari
wilayah Kabupaten Subang diperkirakan sudah ada kontak-kontek dengan
beberapa kerajaan maritim hingga di luar kawasan Nusantara. Peninggalan
berupa pecahan-pecahan keramik asal Cina di Patenggeng (Kalijati)
membuktikan bahwa selama abad ke-7 hingga abad ke-15 sudah terjalin
kontak perdagangan dengan wilayah yang jauh. Sumber lain menyebutkan
bahwa pada masa tersebut, wilayah Subang berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Sunda. Kesaksian Tome’ Pires seorang Portugis yang mengadakan
perjalanan keliling Nusantara menyebutkan bahwa saat menelusuri pantai
utara Jawa, kawasan sebelah timur Sungai Cimanuk hingga Banten adalah
wilayah kerajaan Sunda.
Islam
Masa datangnya pengaruh kebudayaan Islam di wilayah Subang
tidak terlepas dari peran seorang tokoh ulama, Wangsa Goparana yang
berasal dari Talaga, Majalengka. Sekitar tahun 1530, Wangsa Goparana
membuka permukiman baru di Sagalaherang dan menyebarkan agama Islam ke
berbagai pelosok Subang.
Kolonialisme
Pasca runtuhnya kerajaan Pajajaran, wilayah Subang seperti
halnya wilayah lain di P. Jawa, menjadi rebutan berbagai kekuatan.
Tercatat kerajaan Banten, Mataram, Sumedanglarang, VOC, Inggris, dan
Kerajaan Belanda berupaya menanamkan pengaruh di daerah yang cocok
untuk dijadikan kawasan perkebunan serta strategis untuk menjangkau
Batavia. Pada saat konflik Mataram-VOC, wilayah Kabupaten Subang,
terutama di kawasan utara, dijadikan jalur logistik bagi pasukan Sultan
Agung yang akan menyerang Batavia. Saat itulah terjadi percampuran
budaya antara Jawa dengan Sunda, karena banyak tentara Sultan Agung
yang urung kembali ke Mataram dan menetap di wilayah Subang. Tahun
1771, saat berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, di
Subang, tepatnya di Pagaden, Pamanukan, dan Ciasem tercatat seorang
bupati yang memerintah secara turun-temurun. Saat pemerintahan Sir
Thomas Stamford Raffles (1811-1816) konsesi penguasaan lahan wilayah
Subang diberikan kepada swasta Eropa. Tahun 1812 tercatat sebagai awal
kepemilikan lahan oleh tuan-tuan tanah yang selanjutnya membentuk
perusahaan perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden (P & T Lands).
Penguasaan lahan yang luas ini bertahan sekalipun kekuasaan sudah
beralih ke tangan pemerintah Kerajaan Belanda. Lahan yang dikuasai
penguasa perkebunan saat itu mencapai 212.900 ha. dengan hak eigendom.
Untuk melaksanakan pemerintahan di daerah ini, pemerintah Belanda
membentuk distrik-distrik yang membawahi onderdistrik. Saat itu,
wilayah Subang berada di bawah pimpinan seorang kontrilor BB
(bienenlandsch bestuur) yang berkedudukan di Subang.
Nasionalisme
Tidak banyak catatan sejarah pergerakan pada awal abad
ke-20 di Kabupaten Subang. Namun demikian, Setelah Kongres Sarekat
Islam di bandung tahun 1916 di Subang berdiri cabang organisasi Sarekat
Islam di Desa Pringkasap (Pabuaran) dan di Sukamandi (Ciasem).
Selanjutnya, pada tahun 1928 berdiri Paguyuban Pasundan yang diketuai
Darmodiharjo (karyawan kantor pos), dengan sekretarisnya Odeng
Jayawisastra (karyawan P & T Lands). Tahun 1930, Odeng Jayawisastra
dan rekan-rekannya mengadakan pemogokan di percetakan P & T Lands
yang mengakibatkan aktivitas percetakan tersebut lumpuh untuk beberapa
saat. Akibatnya Odeng Jayawisastra dipecat sebagai karyawan P & T
Lands. Selanjutnya Odeng Jayawisastra dan Tohari mendirikan cabang
Partai Nasional Indonesia yang berkedudukan di Subang. Sementara itu,
Darmodiharjo tahun 1935 mendirikan cabang Nahdlatul Ulama yang diikuti
oleh cabang Parindra dan Partindo di Subang. Saat Gabungan Politik
Indonesia (GAPI) di Jakarta menuntut Indonesia berparlemen, di Bioskop
Sukamandi digelar rapat akbar GAPI Cabang Subang untuk mengenukakan
tuntutan serupa dengan GAPI Pusat.
Jepang
Pendaratan tentara angkatan laut Jepang di pantai Eretan
Timur tanggal 1 Maret 1942 berlanjut dengan direbutnya pangkalan udara
Kalijati. Direbutnya pangkalan ini menjadi catatan tersendiri bagi
sejarah pemerintahan Hindia Belanda, karena tak lama kemudian terjadi
kapitulasi dari tentara Hindia Belanda kepada tentara Jepang. Dengan
demikian, Hindia Belanda di Nusantara serta merta jatuh ke tangan
tentara pendudukan Jepang. Para pejuang pada masa pendudukan Belanda
melanjutkan perjuangan melalui gerakan bawah tanah. Pada masa
pendudukan Jepang ini Sukandi (guru Landschbouw), R. Kartawiguna, dan
Sasmita ditangkap dan dibunuh tentara Jepang.
Merdeka
Proklamasi Kemerdekaan RI di Jakarta berimbas pada
didirikannya berbagai badan perjuangan di Subang, antara lain Badan
Keamanan Rakyat (BKR), API, Pesindo, Lasykar Uruh, dan lain-lain,
banyak di antara anggota badan perjuangan ini yang kemudian menjadi
anggota TNI. Saat tentara KNIL kembali menduduki Bandung, para pejuang
di Subang menghadapinya melalui dua front, yakni front selatan
(Lembang) dan front barat (Gunung Putri dan Bekasi). Tahun 1946,
Karesidenan Jakarta berkedudukan di Subang. Pemilihan wilayah ini
tentunya didasarkan atas pertimbangan strategi perjuangan. Residen
pertama adalah Sewaka yang kemudian menjadi Gubernur Jawa Barat.
Kemudian Kusnaeni menggantikannya. Bulan Desember 1946 diangkat Kosasih
Purwanegara, tanpa pencabutan Kusnaeni dari jabatannya. Tak lama
kemudian diangkat pula Mukmin sebagai wakil residen. Pada masa gerilya
selama Agresi Militer Belanda I, residen tak pernah jauh meninggalkan
Subang, sesuai dengan garis komando pusat. Bersama para pejuang, saat
itu residen bermukim di daerah Songgom, Surian, dan Cimenteng. Tanggal
26 Oktober 1947 Residen Kosasih Purwanagara meninggalkan Subang dan
pejabat Residen Mukmin yang meninggalkan Purwakarta tanggal 6 Februari
1948 tidak pernah mengirim berita ke wilayah perjuangannya. Hal ini
mendorong diadakannya rapat pada tanggal 5 April 1948 di Cimanggu, Desa
Cimenteng. Di bawah pimpinan Karlan, rapat memutuskan : 1.Wakil Residen
Mukmin ditunjuk menjadi Residen yang berkedudukan di daerah gerilya
Purwakarta. 2.Wilayah Karawang Timur menjadi Kabupaten Karawang Timur
dengan bupati pertamanya Danta Gandawikarma. 3.Wilayah Karawang Barat
menjadi Kabupaten Karawang Barat dengan bupati pertamanya Syafei.
Wilayah Kabupaten Karawang Timur adalah wilayah Kabupaten Subang dan
Kabupaten Purwakarta sekarang. Saat itu, kedua wilayah tersebut bernama
Kabupaten Purwakarta dengan ibukotanya Subang. Penetapan nama Kabupaten
Karawang Timur pada tanggal 5 April 1948 dijadikan momentum untuk
kelahiran Kabupaten Subang yang kemudian ditetapkan melalui Keputusan
DPRD No. : 01/SK/DPRD/1977.
1 komentar:
salam kenal .
maksih buat ilmunya tentang sejarah subang .
mantap .
Posting Komentar